Sabtu, 29 Mei 2010

Dewa yang Sederhana

Menonton bola ke Craven Cottage, stadion klub sepakbola Fulham, seperti sebuah perjalanan menengok sejarah. Sebuah nostalgia ke masa silam yang penuh kesederhanaan.

Bangunan asli stadion yang ikonik seperti sebuah saksi ketika bangunan masih tunduk dengan alam sekitarnya. Sudut bangunan yang tidak benar-benar siku, lorong masuk stadion yang sempit, gerbang yang tua, dan di bagian tertentu pemandangan penonton terhalang oleh pilar-pilar bangunan. Craven Cottage sulit diperbesar dari 25 ribu kapasitasnya sekarang karena beberapa bagian bangunan termasuk dalam bangunan yang dilindungi.

Perjalanan menengok sejarah sudah dimulai sejak keluar dari stasiun kereta api bawah tanah.

Biasanya stadion-stadion anggota Liga Primer kalau tidak di tengah pemukiman penduduk yang ramai dan padat, akan berada di wilayah semi industrial. Craven Cottage sangat berbeda. Craven Cottage terletak di bantaran Sungai Thames dan di ujung sebuah taman luas yang dimasa lalu menjadi wilayah perburuan keluarga kerajaan.

Di kiri dan kanan menuju Craven Cottage adalah pohon-pohon tua dengan daun yang rimbun dan rumput yang tercukur rapi. Kalau cuaca sedang bagus orang-orang tua dengan pakaian putih-putih tampak santai bermain bowling rumput atau juga orang bermain tenis di lapangan rumput.

Berjalan menuju Craven Cottage seperti bukan akan menonton bola tetapi menikmati sebuah oase ketenangan masa lalu di tengah London yang hiruk-pikuk.

Dan betapa tepatnya kalau manajer Fulham sekarang adalah seorang tua sederhana bernama Roy Hodgson. Ia seperti personifikasi dari Craven Cottage dan daerah sekitarnya. Kalau menonton bola ke Craven Cottage seperti membawa secara fisik ke masa lalu, maka Hodgson membawa kembali nilai-nilai dari masa lalu dalam bersepakbola.

Ketika Fulham mengalahkan Hamburg di semifinal Piala Europa, ia segera mendatangi pemainnya di lapangan dan mengingatkan anak asuhnya untuk bersyukur, berterima kasih kepada pendukung, menghormati lawan, dan tidak bersikap berlebihan. Ia mengingatkan pemiannya untuk bersimpati dengan pendukung maupun pemain yang baru saja mereka kalahkan.

Sepertinya apa yang dikemukakan oleh Hodgson bukanlah hal yang luar biasa. Tetapi dalam sepakbola modern, semua orang tahu sikap seperti itu sudah semakin luntur. Sebuah tindak tanduk dari masa lalu. Apalagi kalau sudah menyangkut klub-klub besar. Tekanan kompetisi yang sedemikian hebat membuat orang lupa akan nilai-nilai hakiki dalam olahraga.

Tak heran kalau pelatih yang bisa begitu banyak bahasa ini –Italia, Swedia, Jerman, Finlandia, Norwegia, Denmark, Prancis— ini menjadi pelatih paling disukai penggemar sepakbola di Inggris maupun sesama manajer sepakbola.

Ia baru saja dinobatkan menjadi manajer terbaik tahun ini di Inggris dengan membawa Fulham ke final tingkat Eropa pertamanya dalam 120 tahun sejarah klub itu. Sementara para manajer sepakbola Eropa menyebutnya sebagai manajer paling menyenangkan. Kalau saja wasit boleh memilih manajer favorit mereka, ia pasti terpilih. Karena ia hampir tidak pernah mengritik keputusan wasit sama sekali.

Memang ia tidak sesukses manajer atau pelatih top dunia lain (walau orang selalu ingat ketika ia membawa Swiss ke 16 besar Piala Dunia 1994). Dan diusianya yang sudah 63 tahun ia mungkin tidak punya banyak kesempatan lagi untuk bisa mencatatkan dirinya sebagai manajer top kelas dunia.

Tetapi bagi pendukung Fulham Roy Hodgson adalah dewa. Dewa yang sederhana. Mewujudkan mimpi sebuah klub kecil ke final kompetisi tingkat Eropa.
Sumber : http://www.detiksport.com/sepakbola/read/2010/05/11/082156/1354907/425/dewa-yang-sederhana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar