Sabtu, 29 Mei 2010

Ibarat Mati di Lumbung Padi

Penggemar bola Eropa mungkin sudah mencermati atau setidaknya membaca laporan terbaru lengkap yang dikeluarkan UEFA mengenai kondisi keuangan dan bisnis 732 klub profesional sepakbola Eropa.

Laporan keuangan tahun 2007-08, laporan 2008-09 baru akan keluar tahun depan, sepertinya terlambat setahun, tetapi dari laporan itu terbaca kecenderungan dan penjelasan mengenai mengapa klub-klub Liga Primer Inggris saat ini terpuruk utang.

Berdasar analisa dari laporan tersebut, utang 18 klub Liga Primer Inggris mencapai 3,5 miliar poundsterling, 56 persen dari semua utang liga Eropa. Jumlah ini sekitar empat kali lipat dari La Liga Spanyol, liga dengan utang terbanyak sesudah Liga Primer. Utang Liga Primer ini juga tercatat lebih banyak dari utang klub-klub besar Eropa dijadikan satu.

Namun pada saat bersamaan Liga Primer juga merupakan liga paling makmur di Eropa. Keuntungan Liga Primer pukul rata per tahunnya sekitar 122 juta poundsterling. Jauh dibanding peringkat kedua, Bundesliga Jerman yang hanya 79 juta poundsterling.

Pertanyaannya tentu saja bagaimana mungkin liga dengan keuntungan terbesar di dunia pada saat yang bersamaan mempunyai utang terbesar pula? Di mana salahnya?

Jawabnya adalah pada kemakmuran itu sendiri serta kelonggaran syarat kepemilikan klub di sebuah pasar bebas.

Kemakmuran Liga Primer membuat klub-klub Inggris memiliki daya tarik untuk sasaran investasi pengusaha atau orang kaya dari berbagai penjuru dunia. Dengan hitungan pasar akan terus berkembang, investasi jangka panjang di Liga Primer tentu saja menggiurkan.

Dan dengan kepemilikan dibebaskan kepada siapa saja, asal memenuhi uji kepatutan dan kelaikan, maka tidak ada halangan bagi siapapun, dari penjuru dunia manapun, senang atau tidak dengan sepakbola, untuk memiliki klub di Inggris. Yang dibutuhkan tentu saja adalah sentuhan bisnis yang jitu untuk menjaga perusahaan (klub) agar tetap sehat.

Celakanya tidak semua pengusaha yang membeli klub-klub di Inggris mempunyai uang cukup seperti katakanlah Roman Abramovich maupun Sheikh Mansour bin Zayed al Nahyan.

Ambil misal nasib Manchester United. Klub ini sebelum dibeli oleh keluarga Glazer adalah klub bersih utang dan mempunyai pemasukan berkisar 260 hingga 280 juta poundsterling dengan keuntungan bersih berkisar 30 hingga 50 juta poundsterling setiap tahunnya.

Resminya Manchester United dibeli dengan harga 812 juta Poundsterling tahun 2005. Tetapi uang Glazer untuk membeli hanyalah 272 juta Poundsterling. Sisanya 540 juta dipinjam dari bank dengan bunga yang luar biasa tinggi.

Mengapa bank bersedia memberi pinjaman? Pertama, tentu saja presentasi Glazer yang mampu meyakinkan bank-bank tersebut bahwa pembelian akan menguntungkan mereka. Kedua, tentu saja Liga Primer yang makmur dan merek Manchester United yang merupakan merek paling terkenal dan klub paling menguntungkan di daratan Inggris.

Keluarga Glazer dengan pintar kemudian membebankan utang pribadi mereka untuk membeli Manchester United menjadi utang klub. Apaboleh buat toh Manchester United memang milik mereka dan mereka boleh berbuat semaunya.

Manchester United dari salah satu klub paling kaya di Eropa hanya dalam satu malam berubah menjadi salah satu klub dengan utang terbesar. Tercatat setelah lima tahun dibeli Glazer utang klub ini malah membengkak mencapai 716 juta poundsterling, seperlima utang Liga Primer. Karena biarpun telah membayar utang 340 juta poundsterling selama lima tahun, sebagian besarnya adalah pembayaran bunga.

Walau terbekap utang Glazer tak hendak menjual klub ini. Mereka tahu Manchester United sebagai perusahaan tetap mendatangkan keuntungan bersih hingga sekitar 50 jutaan Poundsterling. Yang harus diatur oleh keluarga Glazer adalah cara agar utang itu bisa dikurangi sedikit demi sedikit. Inilah yang mereka lakukan saat ini.

Contoh Manchester United ini tentu saja ekstrim. Tetapi pola serupa dipakai banyak pembeli klub Inggris dengan derajat yang berbeda-beda.

Ada yang mempunyai cukup uang untuk membeli klub tanpa meminjam uang seperti George Gillet dan Tom Hicks yang membeli Liverpool tahun 2007 dengan harga 218,9 juta Poundsterling.

Namun mereka kemudian harus meminjam uang untuk membeli dan menggaji pemain karena pemasukan klub tidak cukup dan mereka sendiri sudah tidak punya uang lagi untuk ditanam.

Gillet dan Hicks kemudian menggadaikan, salah satunya, potensi Liverpool masuk ke Liga Champions untuk membiayai sebagian pembelian dan menggaji pemain. Bisa dimaklumi kalau masuk tidaknya Liverpool ke empat besar Liga Primer setiap tahun layaknya hidup mati klub.

Pembangunan stadion yang direncanakan untuk menggantikan Anfield terhenti karena kabarnya kesulitan mendapat pinjaman dana.

Arsenal sementara itu mempunyai utang yang digunakan untuk membangun Emirates senilai lebih 300 juta Poundsterling. Para petinggi Arsenal beralasan pembangunan stadion itu mutlak untuk memaksimalkan pemasukan mereka sebagai salah satu klub elit Liga Primer. Setidaknya klub ini hidup sehat dengan pemasukan yang terjaga, namun tetap saja klub ini seperti klub Inggris lain mempunyai utang yang besar.

Pemilik klub-klub Liga Primer lainnya sementara itu meminjam uang, mirip dengan Liverpool, untuk membeli dan menggaji pemain. Bedanya kalau Liverpool mempunyai Liga Champions di samping Liga Primer, klub-klub kecil ini semata-mata menggadaikan survival mereka di Liga Primer untuk itu. Sambil siapa tahu sedikit-sedikit tersisa dana untuk mengembangkan klub.

Namun pendekatan menggadaikan pembagian keuntungan Liga Primer ini berisiko tinggi. Kalau klub yang bersangkutan terdepak dari Liga Primer, biasanya klub yang bersangkutan tenggelam dalam utang yang tak terbayar.

Lebih parah kalau seperti Portsmouth. Mereka membeli pemain besar-besaran untuk bisa bertahan di Liga Primer hingga pengeluaran mereka lebih besar pasak daripada tiang. Keuangan klub ini begitu kosongnya sehingga gaji pemain beberapa kali tidak terbayar.

Begitu parahnya keadaan pemilik Portsmouth terpaksa harus menggadaikan 90 persen kepemilikannya, aset klub seperti stadion, dan pendapatan dari hak siar televisi di masa depan. Portsmouth pun menjadi klub pertama Liga Primer dalam sejarah yang harus diambil alih oleh administrator. Portsmouth mati di lumbung padi.


Sumber : http://www.detiksport.com/sepakbola/read/2010/03/08/080406/1313279/425/mati-di-lumbung-padi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar